Mengusap muka
setelah berdo’a,sunnahkah??
Penomena yg kita sebutkan ini adalah lumrah terjadi dan
kita saksikan di tengah masyarakat kita,dari yg dikatakan alim dlm masalah
agama apalagi yg jahil dari orang orang yg menisbatkan diri mengikuti mazhab
syafi’i yg tentu nya banyak alasan yg
melatar belakangi perbuatan tsb.
Diantara
mereka ada yg beralasan karena mengikuti
kebanyakan orang,dan alasan inilah yg
kebanyakan manusia mengadopsinya,namun di dalam islam kebanyakan orang
bukanlah ukuran suatu kebenaran karena Allah ‘azza wajalla menjelaskan di dalam
Al qur an:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ
سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُون, (الأنعام 116)
Artinya : Dan
jika kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi ini,niscaya mereka akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah,tiadalah yg mereka ikuti melainkan hanya
persangkaan semata,dan mereka hanya membuat kebohongan
Hal ini disebabkan
karena,dari sekian banyak penduduk negeri kita yg mayoritas kaum muslimin hanya
sedikit dari mereka yg menegakkan sholat,dari yg sholat hanya sedikit yg
mengerjakan nya dgn ikhlas,dari yg ikhlas hanya sedikit yg mengerjakannya
sesuai dengan sunnah ,bahkan di negeri kita yg mayoritas muslim ini ternyata
mayoritas pelaku maksiat nya adalah
orang yg mengaku dirinya muslim,demikian juga di dalam hal hal yg lain yg
berhubungan dengan masalah agama yg kebanyakan dari mereka hanya mengikuti tata
cara beragama nenek moyang mereka tanpa ada ikhtiyar untuk mempelajari islam yg
benar yg bersumber dari Al qur an dan As sunnah yg shohih yg merupakan pondasi
pokok yg harus mendasari agama seorang muslim
Allah
‘azza wajalla berfirman menggambarkan keadaan mereka :
يَفْعَلُونَ قَالُوا بَلْ وَجَدْنَا آبَاءَنَا كَذَلِكَ يَفْعَلُونَ (الشعراء
Artinya : mereka
mengatakan “bahkan beginilah kami mendapati nenek moyang kami telah
mengerjakannya seperti ini”.
Dan apabila di
dalam hal ini(mengusap muka setelah berdo’a) orang yg mengerjakannya beralasan karena
mengikuti orang orang yg di katakan tokoh di kalangan masyarakat yg mereka katakan
pasti punya alasan dan tidak mungkin mengajarkan yg jelek kepada orang,maka kewajiban seseorang di dlm perkara yg
menyangkut masalah agamanya adalah melihat alasan tsb apakah bersesuaian dgn Al
qur an dan As sunnah shohihah atau tidak
Al imam ibnu katsir ketika menafsirkan surah An- nur ayat
63,beliau mengatakan :
وقوله: { فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ
أَمْرِهِ } أي: عن أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم، سبيله هو ومنهاجه وطريقته
وسنته وشريعته، فتوزن الأقوال والأعمال بأقواله وأعماله، فما وافق
ذلك قُبِل، وما خالفه فهو مَرْدُود على قائله وفاعله، كائنا من كان، كما ثبت في
الصحيحين وغيرهما، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: "من عمل عَمَلا
ليس عليه أمرنا فهو رَدّ"
Artinya
:dan firman Allah’’maka hendaklah takut orang orang yg menyelisihi
perkaraNya” yaitu perkara Rasululloh,berupa syri’at,sunnah,manhaj dan jalan yg
Beliau tempuh,maka setiap perkataan dan amal perbuatan harus di timbang dengan
perkataan dan amal perbuatan Beliau,maka setiap amal perbutan yg sesuai dgn
amal perbuatan Beliau maka DITERIMA,dan yg tidak bersesuaian maka DITOLAK
siapapun dan apapun kedudukan pelaku dan pengucapnya,sebagaimana tlh tetap
dalam shohihain dan selainnya bahwa Rasulullah Shollalohu ‘alaihi wasallam
bersabda’’barang siapa mengerjakan suatu amalan yg bukan perkara dari kami maka
tertolak” (tafsir ibnu katsir jilid
6 hal. 89-90)
Maka dari penjelasan ini
jelaslah bagi kita bahwa,yg menjadi ukuran di terima dan di tolaknya suatu amal
di dalam islam adalah di ukur dengan SUNNAH NABI YG SHOHIH
Dan adapun di antara
hujjah/alasan sebagian orang yg mengamal kan “mengusap muka setelah berdo’a”
adalah hadist :
سلوا
الله ببطون أكفكم، ولا تسألوه بظهورها، فإذا فرغتم؛ فامسحوا بها وجوهكم
Artinya : Mintalah kalian
kepada Allah dengan telapak tangan kalian,dan jangan meminta dengan punggung
tangan,apabila kalian telah selesai maka usaplah muka kalian dengannya
Pandangan para ulama ttg hadist ini :
- · Al imam Baehaqi menjelaskan perkataan abu Daud ttg jalur periwayatan hadist ini
رسالة الإمام أبي بكر
البيهكي إلى الإمام أبي محمد الجويني ص 66 - 65 )) :
وأخبرنا أبو علي الروذباري، أخبرنا أبو بكر بن داسه،
قال:قال أبو داود السجستاني:
((روي هذا الحديث من غير وجه، عن
محمد بن كعب، كلها واهية، وهذا الطريق أمثلها، وهو ضعيف أيضاً)).
يريد
به: حديث عبد الله بن يعقوب، عمن حدثه، عن محمد بن كعب القرظي، عن ابن عباس، عن
النبي - صلى الله عليه وسلم -:((.. ..
سلوا الله ببطون أكفكم، ولا تسألوه بظهورها، فإذا فرغتم؛ فامسحوا بها وجوهكم)) وروي ذلك من أوجه أخر، كلها أضعف من رواية من رواها عن
ابن عباس.وكان أحمد بن حنبل ينكر
Artinya: berkata
Imam Baehaqi : telah mengabarkan kepada kami Abu ‘ali arruzbaary,telah
mengabarkan pd kami Abu bakr bin daasah,telah berkata Imam Abu Daud assijistany
((telah diriwayatkan hadist ini dari beberapa jalan yg lain,yakni dari Muhammad
bin ka’ab yg semuanya lemah,dan dari jalan ini juga lemah )),yg
beliau maksudkan adalah hadist : Abdullah bin ya’qub,dari orang yg
menceritakannya, dari Muhammad bin ka’ab alqurozy,dari Ibnu
Abbas,dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam ; (...
سلوا الله
ببطون أكفافكم ), dan
di riwayatkan pula hadist ini dari jalan yg lain yg semua riwayatnya lebih
do’if daripada yg meriwayatkannya dari Ibnu Abbas..
- · Imam Ahmad bin hambal,beliau mengingkari riwayat ini.
- · Al Imam Al- ‘Iz bin Abdussalaam menjelaskan ttg mengusap muka setelah berdo’a :
ولا
يستحب رفع اليدين في الدعاء إلا في المواطن التى رفع فيها رسول الله صلى الله عليه
وسلم يديه,ولايمسح وجهه يديه عقيب
الدعاء إلا جاهل ,,,فتاوى العز بن عبد السلام
ص 47
Artinya : tidak di sunnahkan mengangkat kedua
tangan ketika berdo’a kecuali pada tempat
tempat yg Rasululloh Sallallohu ‘alaihi wasallam mengangkat tangan
padanya,dan tidaklah seseorang mengusap muka dengan kedua tangan nya setelah
berdo’a kecuali dia orang yg jahil
- · Al Imam Abdulloh ibnul Mubarok pernah di tanya oleh seorang murid beliau(‘Ali al baasyany ) ttg mengusap muka setelah berdo’a seperti yg di jelaskan oleh Imam Baehaqi dlm risalah beliau kepada Imam Juaeny :
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ، قال: أخبرنا أبو بكر الجراحي،
قال حدثنا [يحيى بن] ساسويه، حدثنا عبد الكريم السكري، قال: حدثنا وهب بن زمعة، قال: أخبرني علي الباشاني،
قال:((سألت عبد الله بن المبارك: عن الذي إذا دعا مسح وجهه ,فلم أجد [له ثبتاً])). قال علي: ((ولم أره يفعل ذلك))....رسالة
البيهكي للجو يني ص 54-64
Artinya : berkata
Imam baehaqi :telah mengabarkan pada kami Abu Abdillah al haafidz,telah mengabarkan kepada kami Abu Bakr
Al jarohy,telah menceritakan pd kami Yahya bin saasiwaih,telah menceritakan pd
kami Abdul Kariim assukry,telah menceritakan pd kami Wahb bin zam’ah,telah
mengabarkan kepadaku ‘Ali Al baasyany
dia berkata : aku bertanya kepada Abdullah ibnul Mubaarok ttg seorang yg apabila telah berdo’a kemudian dia
mengusap wajahnya?, beliau menjawab : aku tdk menemukan dalil yg sabit
tentangnya,berkata ‘Ali Al baasyany: dan aku tidak pernah melihat beliau
mengerjakan nya.
Pengingkaran para ulama ttg riwayat ini
adalah terlebih karena para rowi yg meriwayatkan nya yg majhulul ‘ain(tidak di
kenal orang nya) dan majhulul haal(tidak di ketahui
keadaan/kondisi orang nya) :
1.
majhulul ‘ain : di dalam deretan rowi hadist tsb di sebutkan lafaz حدثه عمن (dari orang yg
menceritakannya),maka suatu hal yg keliru jika kita ingin menisbatkan
suatu ucapan kepada Rasululloh
sementara kita mengambilnya dari orang yg tdk kita ketahui jati diri nya,karena
sesungguhnya perkataan Rosululloh akan menjadi syari’at untuk ummat ini.
2.
Majhulul haal : di antara rowi hadist tsb terdapat
nama Abdulloh bin ya’kub bin ishak al madiny yg dikatakan marotib nya
oleh Al imam ibnu hajar : majhulul haal,sedangkan Imam Adzahaby tidak
menyebutkan marotib nya
Maka
dengan sebab illat/cacat yang menyertai hadist ini sehingga para ulama
mendo’ifkan hadist ini dan hal ini sekaligus menjadi ibroh/pelajaran serta
timbangan bagi kita untuk mengukur kadar
suatu amalan sesuai tidak nya dengan syari’at Rasululloh Salallohu ‘alaihi
wasallam dan bukan menjadikan sedikit banyaknya orang yg melakukan suatu amalan
tsb yg mejadi tolak ukur kita dalam menetapkan suatu kebenaran.
Al imam
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ke-39 dari Surat An najm beliau menjelaskan
istimbath Imam Syaf’i dgn ayat ini,beliau mengatakan :
....وباب القربات يقتصر فيه على النصوص، ولا يتصرف
فيه بأنواع الأقيسة والآراء
Artinya : ....dan
bab tentang hal hal yg mendekatkan diri kepada Allah dibatasi( yg boleh di
kerjakan) yg memiliki dalil,dan tidak boleh di tentukan(ketika ada dalilnya)
dengan berbagai kiyas/analogi dan pendapat
(tafsir ibnu katsir 7,hal 465)
Begitu
juga Imam Syafi’i di dalam kitab Ar
risalah beliau menjelaskan :
لا يحل
القياس والخبر موجود.....وكذالك يكون ما بعد السنة حجة إذا أعوز من السنة
Artinya : tidak di
halalkan kiyas ketika telah ada khobar....demikian juga apapun setelah sunnah
bisa menjadi hujjah apabila dia bersandar kepada sunnah (Ar risalah bab
manzilatul ijma’ wal qiyas hal. 600 )
Syubhat syubhat dan bantahannya :
Di
kalangan masyarakat kita apabila suatu perkara yg telah memasyarakat dan
membudaya dan lumrah di kerjakan oleh kebanyakan orang,maka ketika ada orang yg
mengatakan bahwa hal tsb “menyelisihi
sunnah” maka yg umum terjadi adalah penolakan, mengatakan sesat,faham baru,menyelisihi
orang banyak serta memberikan gelar gelar yg jelek kepada yg mengatakannya agar
di jauhi oleh orang..Dan yg minimal mereka lakukan adalah membela diri dengan
syubhat demi mempertahankan dan membenarkan amalan mereka.Dan di antara syubhat
mereka adalah :
1. Mereka
mengatakan mengakui hadist tsb do’if,akan tetapi mereka mengamalkan nya dalam
rangka lifadoo’ilil a’maal karena ada ulama yg membolehkan nya
Maka terhadap
syubhat ini kita katakan:bukankah Allah ‘Azza wajalla telah menyempurnakan
agama ini ketika Rasul-Nya yg mulia masih hidup?,dan salah satu bentuk
kesempurnaan islam adalah Beliau jelaskan dalam hadist yg di riwayatkan oleh
Imam Syafi’i dan Imam Baehaqi :
ما تركت
شيئامما أمركم الله به إلا وقد أمرتكم به,ولا تركت شيئا مما نهاكم الله عنه إلاوقد
نهيتكم عنه
Artinya
: tidaklah Aku sisakan dari apa apa yg Allah perintahkan pada kalian kecuali
telah Aku perintahkan kepada kalian,dan tidakklah Aku sisakan dari apa yang
Allah larang dari nya kecuali Aku telah melarang kalian dari nya ( hadist
shohih riwayat Asyafi’i di ktab ar risaalah dan Imam Baehaqi)
Di dalam hadist yg lain juga Rasululloh menjelaskan :
ما
بقي شيئ يقرب من الجنة ويباعد من النار إلا قد بين لكم
Artinya
: tiada tersisa dari hal hal yg mendekatkan seseorang ke sorga dan
menjauhkannya dari neraka melainkan telah di jelaskan kepada kalian ( shohih
riwayat At tobroni)
Maka mafhum nya adalah ketidak adaan contoh dari
Beliau dalam masalah ini menunjukkan bahwa hal tsb tidak di syariatkan dan
tidak bisa mendatangkan maslahat bagi seseorang dalam agamanya
Imam
Assyaukany menjelaskan :
فإذاكان الله قد أكمل دينه قبل أن يقبض نبيه صلى الله عليه وسلم,فما هذا الرءي
الذي أحدثه أهله بعد أن أكمل الله دينه؟؟,إن
كان من الدين في اعتقادهم,فهو لم يكمل عندهم إلابرأيهم,وهذا فيه رد للقرآن,وإن لم
يكن من الدين,فأي فائدة في الإشتغال
بما ليس من الدين؟؟
Artinya
: maka ketika Allah telah meyempurnakan agama Nya sebelum mewafatkan Nabi
Nya Sallallohu ‘Alaihi wasallam,maka apa tujuan ra’yu/logika logika yg di buat
oleh pembuatnya setelah Allah menyempurnakan agama Nya??,jika hal tsb mereka
anggap bagian dari urusan agama dalam masalah aqidah,maka bagi mereka tidaklah
sempurna kecuali di sempurnakan dengan ro’yu mereka,hal ini merupakan penolakan
terhadap Al qur’an,dan jika hal tersebut bukan termasuk urusan agama,maka
apa faedah nya menyibukkan diri dengan sesuatu yg bukan perkara agama??.. (alkaulul mufiid fi adillatil ‘ijtihadi
wattakliid hal.38)
Berkaitan dgn hal ini para ulama telah menetapkan
suatu koidah :
إذا وجد الأ ثر بطل النظر
Artinya : apabila telah
di temukan atsar maka batal lah pendapat
Dan di dlm masalah ini telah di temukan atsar
atsar shohih yg justru mengingkari
perbuatan mengusap muka setelah berdo’a.
Mengenai mengamalkan hadist do’if dalam rangka lifadoo’ilil a’maal,maka kitapun menetapkan hal
tsb dengan ketentuan/syarat yg di
tetapkan oleh para ulama yaitu :
a.
Hanya untuk fado’ilul
a’maal
b. Memiliki
sandaran asal yg shohih dari sunnah
c.
Hadist nya tidak sangat
do’if
d. Tidak
meyakini hal tsb dari Rasululloh ketika mengamalkan nya ( al firqotun najiah
hal.134)
Sudah
terpenuhikah syarat syarat yg telah di tetapkan oleh para ulama ketika kita mau
mengamalkan hadist do’if tsb???,maka jika tidak terpenuhi syarat syaratnya
hendaklah seseorang mencukupkan diri dengan hadist yg shohih,maka yg sunnah dlm
masalah ini adalah meninggalkan sesuatu yg tdk pernah di lakukan oleh
Rasululloh yg dikenal dengan sunnah tarkiyyah.