Kategori: Manhaj
55 Komentar // 26 February 2010
Sebagian orang
selalu mencari-cari dalil untuk membenarkan amalan tanpa tuntunan yang ia
lakukan. Di antara cara yang dilakukan adalah menjadikan perkataan ulama Ahlus
Sunnah sebagai argumen untuk mendukung bid’ah mereka. Inilah yang terjadi dalam
perayaan Maulid Nabi. Di antara perkataan ulama Ahlus Sunnah yaitu Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, disalahpahami oleh sebagian kalangan sehingga
beliau pun disangka mendukung perayaan Maulid. Begitu pula ada perkataan lain
dari Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengenai hal ini. Ibnu Hajar adalah di antara
ulama yang memiliki ketergelinciran dalam masalah Maulid. Nantinya kami juga
akan membahas syubhat (kerancuan) lainnya yang sengaja disuarakan oleh para
simpatisan Maulid seperti pemutarbalikkan sejarah Maulid yang disangka
dipelopori oleh Shalahuddin Al Ayubi. Semoga Allah memudahkan untuk
mengungkap yang benar dan yang batil. Allahumma yassir wa a’in (Ya Allah,
mudahkan dan tolonglah).
Kerancuan
Pertama: Salah Paham dengan Perkataan Ibnu Taimiyah
Di salah satu
website yang kami telusuri, ada perkataan Syaikhul Islam sebagai berikut, “Merayakan
maulid dan menjadikannya sebagai kegiatan rutin dalam setahun sebagaimana yang
telah dilakukan oleh sebagian orang, akan mendapatkan pahala yang besar sebab
tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah SAW.”
Perkataan
beliau inilah yang menjadi dasar sebagian kalangan yang menyatakan bahwa
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung Maulid. [1]
Kalimat
selengkapnya terdapat dalam kitab Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim
sebagai berikut.
فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له
فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعيظمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم كما قدمته لك
أنه يحسن من بعض الناس ما يستقبح من المؤمن المسدد ولهذا قيل للامام أحمد عن بعض
الأمراء إنه أنفق على مصحف ألف دينار ونحو ذلك فقال دعه فهذا أفضل ما أنفق فيه
الذهب أو كما قال مع أن مذهبه أن زخرفة المصاحف مكروهة وقد تأول بعض الأصحاب
أنه أنفقها في تجديد الورق والخط وليس مقصود أحمد هذا وإنما قصده أن هذا العمل فيه
مصلحة وفيه أيضا مفسدة كره لأجلها فهؤلاء إن لم يفعلوا هذا وإلا اعتاضوا الفساد
الذي لا صلاح فيه مثل أن ينفقها في كتاب من كتب الفجور ككتب الأسماء أوالأشعار أو
حكمة فارس والروم
“Adapun
mengagungkan maulid dan menjadikannya acara tahunan, hal ini terkadang
dilakukan oleh sebagian orang. Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar
karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya hal itu
dianggap baik oleh sebagian orang tetapi tidak dianggap baik oleh mukmin yang
mendapat taufik.
Oleh karena
itu, diceritakan kepada imam Ahmad mengenai beberapa pemimpin (umaro’)
bahwasanya mereka menginfaqkan 1000 dinar untuk pencetakan Mushaf. Maka beliau
berkata, “Biarkan mereka melakukan itu, itulah infaq terbaik yang dapat mereka
lakukan dengan emas” atau sebagaimana yang Imam Ahmad katakan. Padahal menurut
madzhab Imam Ahmad, makruh hukumnya memperindah mushaf. Namun sebagian pengikut
Imam Ahmad menafsirkan maksud Imam Ahmad adalah beliau memakruhkan
memperbaharui kertas dan khothnya. Namun sebenarnya maksud Imam Ahmad bukanlah
seperti yang ditafsirkan ini. Imam Ahmad memaksudkan bahwa memperindah mushaf
ini ada mashlahat (manfaat) di satu sisi dan ada pula mafsadatnya (bahayanya).
Inilah yang beliau makruhkan.
Namun perlu
diketahui bahwa jika mereka (para umara’) tidak melakukan hal ini (yaitu
memperindah mushaf), tentu mereka akan melakukan hal-hal lain yang tidak
berfaedah. Misalnya para umara’ tersebut malah menyalurkan infaq mereka untuk
mencetak buku-buku tidak bermoral: buku cerita yang hanya menghabiskan waktu,
buku sya’ir (yang sia-sia belaka) dan buku filsafat dari Persia dan Romawi.”[2] Demikian perkataan beliau rahimahullah.
Jika seseorang
membaca teks di atas secara utuh, insya Allah dia tidak akan memiliki
pemahaman yang keliru. Lihat baik-baik perkataan beliau di atas: ”Mereka pun
bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang aku telah jelaskan
sebelumnya bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian orang tetapi tidak
dianggap baik oleh mukmin yang mendapat taufik”. Dari perkataan beliau ini
menunjukkan bahwa perayaan Maulid tidak dianggap baik oleh orang-orang yang
mendapat taufik. Jika ada yang menganggap amalan Maulid itu baik, maka dia
adalah orang yang keliru. Maka ini menunjukkan bahwa Maulid bukanlah amalan
yang baik.
Coba kita lihat
kembali perkataan Syaikhul Islam lainnya dalam kitab yang sama (Iqtidho’ Ash
Shirothil Mustaqim) agar kita tidak salah / keliru dengan
perkataan beliau di atas. Dalam beberapa lembaran sebelumnya, Syaikhul Islam
mengatakan,
وكذلك ما يحدثه بعض الناس إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى
عليه السلام وإما محبة للنبي صلى الله عليه و سلم وتعظيما له والله قد يثيبهم على
هذه المحبة والاجتهاد لا على البدع من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه و سلم عيدا
مع اختلاف الناس في مولده فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضى له وعدم المانع
منه ولو كان هذا خيرا محضا أو راجحا لكان السلف رضي الله عنهم أحق به منا فإنهم
كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه و سلم وتعظيما له منا وهم على الخير أحرص
وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته واتباع أمره وإحياء سنته باطنا وظاهرا
ونشر ما بعث به والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان فإن هذه هي طريقة السابقين
الأولين من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسا
“Begitu pula
halnya dengan kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian orang. Boleh jadi
perbuatan mereka menyerupai tingkah laku Nashrani sebagaimana Nashrani pun
memperingati kelahiran (milad) ‘Isa ‘alaihis salam. Boleh jadi maksud
mereka adalah mencintai dan mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh
jadi Allah memberi ganjaran kepada mereka dikarenakan kecintaan dan kesungguhan
mereka, dan bukan bid’ah maulid Nabi yang mereka ada-adakan sebagai perayaan.
Padahal perlu diketahui bahwa para ulama telah berselisih pendapat mengenai
tanggal kelahiran beliau. Apalagi merayakan maulid sama sekali tidak pernah
dilakukan oleh para salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Padahal
ada faktor pendorong (untuk memuliakan nabi) dan tidak ada faktor penghalang di
kala itu. Seandainya merayakan maulid terdapat maslahat murni atau maslahat
yang lebih besar, maka para salaf tentu lebih pantas melakukannya daripada
kita. Karena sudah kita ketahui bahwa mereka adalah orang yang paling mencintai
dan mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kita. Mereka
juga tentu lebih semangat dalam kebaikan dibandingkan kita. Dan perlu
dipahami pula bahwa cinta dan pengagungan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang sempurna adalah dengan ittiba’ (mengikuti)
dan mentaati beliau yaitu dengan mengikuti setiap perintah, menghidupkan ajaran
beliau secara lahir dan batin, menyebarkan
ajaran beliau dan berjuang (berjihad) untuk itu semua dengan hati, tangan dan
lisan. Inilah jalan hidup para generasi utama dari umat ini, yaitu kalangan
Muhajirin, Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.”[3]
Kami rasa sudah
jelas jika kita memperhatikan penjelasan beliau yang kedua ini. Jelas sekali
beliau menyatakan perayaan Maulid itu tidak ada salafnya (pendahulunya) artinya
amalan yang tidak ada tuntunannya, bahkan merayakan Maulid sama halnya dengan
Natal yang dirayakan oleh Nashrani. Lantas dengan penjelasan beliau ini apakah
masih menuduh beliau rahimahullah mendukung maulid?!
Mohon jangan
menukil perkataan beliau sebagian saja, cobalah pahami perkataan beliau secara
utuh di halaman-halaman lainnya dalam kitab Iqtidho’. Simak baik-baik
perkataan beliau di atas: “Boleh jadi Allah memberi ganjaran kepada mereka
dikarenakan kecintaan dan kesungguhan mereka, dan bukan bid’ah maulid Nabi yang
mereka ada-adakan sebagai perayaan.” Dari sini, beliau menggolongkan maulid
sebagai bid’ah karena memang tidak pernah diadakan oleh para salaf dahulu
(sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Namun perayaan ini dihidupkan dan
diada-adakan oleh Dinasti ‘Ubaidiyyun[4]. Dan ingat, beliau katakan bahwa
mudah-mudahan mereka mendapat pahala karena mengangungkan dan mencintai beliau,
namun bukan pada acara bid’ah maulid yang mereka ada-adakan. Mohon pahami
baik-baik perkataan beliau ini. Semoga Allah beri kepahaman.
Lebih tegas
lagi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan mengenai Maulid Nabi dapat dilihat
dalam Majmu’ Al Fatawa sebagai berikut.
وَأَمَّا اتِّخَاذُ مَوْسِمٍ غَيْرِ الْمَوَاسِمِ
الشَّرْعِيَّةِ كَبَعْضِ لَيَالِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ الَّتِي يُقَالُ :
إنَّهَا لَيْلَةُ الْمَوْلِدِ أَوْ بَعْضِ لَيَالِيِ رَجَبٍ أَوْ ثَامِنَ عَشَرَ
ذِي الْحِجَّةِ أَوْ أَوَّلِ جُمْعَةٍ مِنْ رَجَبٍ أَوْ ثَامِنِ شَوَّالٍ الَّذِي
يُسَمِّيهِ الْجُهَّالُ عِيدَ الْأَبْرَارِ فَإِنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الَّتِي
لَمْ يَسْتَحِبَّهَا السَّلَفُ وَلَمْ يَفْعَلُوهَا وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
أَعْلَمُ .
“Adapun
melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu
Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari
bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada
sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau
perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh)
dengan ‘Idul Abror (lebaran ketupat)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak
dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini)
dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya. Wallahu subhanahu
wa ta’ala a’lam.”[5]
Renungkan
perkataan beliau baik-baik. Apakah bisa dipahami dari perkataan terakhir ini
bahwa beliau mendukung Maulid? Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita
sekalian agar bisa membedakan mana yang benar dan mana yang keliru.
Kerancuan
Kedua: Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Membolehkan Maulid Nabi
Perkataan
berikut kami nukil dari kitab Al Hawiy yang ditulis oleh Imam
As Suyuthi.[6]
وقد سئل شيخ الإسلام حافظ العصر أبو الفضل بن حجر عن عمل
المولد فأجاب بما نصه: أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من
القرون الثلاثة ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها فمن تحرى في عملها
المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا قال وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت
وهو ما ثبت في الصحيحين من أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود
يصومون يوم عاشوراء فسألهم فقالوا هو يوم أغرق الله فيه فرعون ونجى موسى فنحن
نصومه شكرا لله تعالى فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما من به في يوم معين من
إسداء نعمة أو دفع نقمة ويعاد ذلك في نظير ذلك اليوم من كل سنة والشكر لله يحصل
بأنواع العبادة كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة وأي نعمة أعظم من النعمة ببروز
هذا النبي نبي الرحمة في ذلك اليوم وعلى هذا فينبغي أن يتحرى اليوم بعينه حتى
يطابق قصة موسى في يوم عاشوراء ومن لم يلاحظ ذلك لا يبالي بعمل المولد في أي يوم
من الشهر بل توسع قوم فنقلوه إلى يوم من السنة وفيه ما فيه – فهذا ما يتعلق بأصل
عمله، وأما ما يعمل فيه فينبغي أن يقتصر فيه على ما يفهم الشكر لله تعالى من نحو
ما تقدم ذكره من التلاوة والإطعام والصدقة وإنشاد شيء من المدائح النبوية والزهدية
المحركة للقلوب إلى فعل الخير والعمل للآخرة وأما ما يتبع ذلك من السماع واللهو
وغير ذلك فينبغي أن يقال ما كان من ذلك مباحا بحيث يقتضي السرور بذلك اليوم لا بأس
بإلحاقه به وما كان حراما أو مكروها فيمنع وكذا ما كان خلاف الأولى
Syaikhul Islam
Hafizh di masa ini, Abul Fadhl Ibnu Hajar ditanya mengenai amalan
Maulid, beliau pun menjawab dengan redaksi sebagai berikut:
“Asal melakukan maulid adalah
bid’ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan
tetapi didalamnya terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan.
Barangsiapa melakukan kebaikan di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan,
maka ia telah melakukan buid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Saya telah melihat
landasan yang kuat dalam hadist sahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa
pada hari ‘Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab,
“Itu hari dimana Allah menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa
untuk mensyukuri itu semua.” Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa boleh
melakukan syukur pada hari tertentu di situ terjadi nikmat yang besar atau
terjadi penyelamatan dari mara bahaya, dan dilakukan itu tiap bertepatan pada
hari itu. Syukur bisa dilakukan dengan berbagai macam ibadah, seperti sujud,
puasa, sedekah, membaca al-Qur’an dll. Apa nikmat paling besar selain kehadiran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di muka bumi ini. Maka
sebaiknya merayakan maulid dengan melakukan syukur berupa membaca Qur’an,
memberi makan fakir miskin, menceritakan keutamaan dan kebaikan Rasulullah yang
bisa menggerakkan hati untuk berbuat baik dan amal sholih. Adapun yang
dilakukan dengan mendengarkan musik dan memainkan alat musik, maka hukumnya
dikembalikan kepada hukum pekerjaan itu. Kalau perkara yang dilakukan ketika
itu mubah maka hukum merayakannya mubah, kalau itu haram maka hukumnya haram
dan kalau itu kurang baik maka begitu seterusnya”.[7]
Sanggahan untuk
kerancuan di atas:
Pertama: Yang harus dipahami dari setiap perkataan ulama bahwa mereka tidaklah
ma’shum, artinya mereka tidaklah luput dari kesalahan dan
ketergelinciran. Oleh karenanya, seharusnya yang jadi pegangan adalah dalil.
Janganlah bersikap mengambil pendapat mereka yang ganjil berdasarkan selera dan
hawa nafsu. Jika ketergelinciran dan kekeliruan mereka yang diambil, maka pasti
kita pun akan menuai kejelekan.
Sulaiman At Taimi mengatakan,
لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ اِجْتَمَعَ فِيْكَ
الشَّرُّ كُلُّهُ
“Seandainya
engkau mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka pasti akan terkumpul padamu
kejelekan.” Setelah mengemukakan perkataan ini, Ibnu ‘Abdil Barr
mengatakan, ”Ini adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama, saya tidak mengetahui
adanya perselisihan dalam hal ini.”
Al Auza’i mengatakan,
مَنْ أَخَذَ بِنَوَادِرِ العُلَمَاءِ خَرَجَ مِنَ الإِسْلاَمِ
“Barangsiapa
yang mengambil pendapat yang ganjil dari para ulama, maka ia bisa jadi keluar
dari Islam.” Asy Syatibi menyampaikan adanya ijma’ (kesepakatan para ulama)
bahwa mencari-cari pendapat yang ganjil dari para ulama tanpa ada pegangan
dalil syar’i adalah suatu kefasikan dan hal ini jelas tidak dibolehkan.[8]
Kedua: Ibnu Hajar rahimahullah telah mengatakan di atas: “Asal
melakukan maulid adalah bid’ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga
abad pertama”, maka sebenarnya perkataan beliau ini sudah cukup untuk
menyatakan tercelanya perayaan Maulid. Cukup sebagai sanggahannya,
لَوْ كَانَ
خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya
amalan tersebut (perayaan maulid) baik, tentu mereka (para sahabat dan tabi’in)
sudah mendahului kita untuk melakukannya.”
Ketiga: Justru dalil puasa Asyura di atas bisa berbalik pada orang yang
pro Maulid. Jika puasa Asyura adalah dalil untuk memperingati Maulid, maka
tentu para salaf dahulu akan menjadikannya sebagai dalil. Sudah dipastikan
bahwa mereka telah berijma’ (bersepakat) tidak merayakan maulid karena tidak
satu pun di antara generasi awal Islam yang merayakannya. Argumen yang dikemukakan
oleh Ibnu Hajar rahimahullah sebenarnya telah menyelisihi ijma’
(kesepakatan) para ulama salaf dari sisi pemahaman dan pengamalan. Siapa saja
yang menyelisihi ijma’ salaf, berarti ia telah keliru. Karena para salaf
tidaklah mungkin bersatu melainkan dalam petunjuk.
Keempat: Menyimpulkan dibolehkannya perayaan Maulid dari puasa
Asyura adalah pendalilan yang terlalu memberat-beratkan diri dan pendalilan
semacam ini tertolak. Karena ingatlah bahwa Maulid adalah ibadah dan bukan
amalan sosial sebagaimana kata sebagian orang. Buktinya adalah yang merayakan
maulid ingin merealisasikan cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun
lewat jalan yang keliru. Dan juga setiap yang merayakannya pasti ingin cari
pahala. Bagaimana mungkin ini dikatakan bukan ibadah?! Jika perayaan tersebut
adalah ibadah, maka landasannya adalah dalil dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, bukan hanya sangkaan baik semata. Jika masih mengklaim
bahwa Maulid adalah bid’ah hasanah, maka cukup kami sanggah dengan perkataan Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa
banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.”[9]
Ibnu ‘Umar mengatakan,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ
حَسَنَةً
“Setiap
bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.”[10]
Kelima: Ingatlah bahwa
mengenai puasa Asyura ada dorongan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
melakukannya. Hal ini jauh berbeda dengan perayaan Maulid yang Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mendorong untuk melakukannya.[11]
Kerancuan
Ketiga: Shalahuddin Al Ayubi Mempelopori Peringatan Maulid
Di negeri ini
lebih terkenal kalau Shalahuddin Al Ayubi adalah pelopor Maulid Nabi dalam
rangka menyemangati para pemuda.
Kami merasa
aneh kenapa pejuang Sunnah yang anti Rafidhah (Syi’ah) malah diklaim sebagai
pemrakarsa perayaan Maulid. Perlu diketahui bahwa Shalahuddin Al Ayubi adalah
seorang raja dan panglima Islam. Beliau bahkan yang melenyapkan perayaan Maulid
yang sebenarnya diprakarsai oleh Dinasti Fatimiyyun sebagaimana dinyatakan oleh
banyak ahli sejarah. Berikut perkataan ahli sejarah mengenai Maulid Nabi.
Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah
Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru,
hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid
Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang
berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan
Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan
Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan,
perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan
musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru
Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari
sebelum paskah), dan hari Rukubaat.”[12]
Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam
(hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid
yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu
‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah
(keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.
Begitu pula Asy
Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’
(hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84)
juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah
‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun).[13]
Lalu siapakah
sebenarnya ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun)?
Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang
beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia
dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun
dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman
Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.”
Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy mengatakan,
“Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah kerajaan Fatimiyyun,
kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang yang zholim, sering
menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan perkara yang wajib, paling
semangat dalam menampakkan bid’ah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, dan
menjadi pendukung orang munafik dan ahli bid’ah. Perlu diketahui, para
ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyah)
lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam
keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat
bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah kedua
daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.”
Beliau
rahimahullah juga mengatakan, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia
yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.”[14]
Bani Fatimiyyun
atau ‘Ubaidiyyun juga menyatakan bahwa mereka memiliki nasab (silsilah
keturunan) sampai Fatimah. Ini hanyalah suatu kedustaan. Tidak ada satu pun
ulama yang menyatakan demikian.
Ahmad bin
‘Abdul Halim juga mengatakan dalam halaman yang sama, “Sudah diketahui
bersama dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa siapa yang menganggap mereka di
atas keimanan dan ketakwaan atau menganggap mereka memiliki silsilah keturunan
sampai Fatimah, sungguh ini adalah suatu anggapan tanpa dasar ilmu sama sekali.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Israa’: 36).
Begitu juga Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali orang yang
bersaksi pada kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Az Zukhruf:
86). Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf (yang artinya), “Dan kami
hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81). Perlu diketahui
bahwa tidak ada satu pun ulama yang menyatakan benarnya silsilah
keturunan mereka sampai pada Fatimah.”[15]
Begitu pula Ibnu
Khallikan mengatakan, “Para ulama peneliti nasab mengingkari
klaim mereka dalam nasab [yang katanya sampai pada Fatimah].”[16]
‘Abdullah At
Tuwaijiriy mengatakan, “Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang
menyingkap rahasia dan mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan
bahwa Bani Fatimiyyun adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah
dari Yahudi dan Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim
‘Ali sebagai ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim
‘Ali memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan
Nashrani.
Al Qodhi Abu Ya’la dalam kitabnya Al Mu’tamad menjelaskan
panjang lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Bani Fatimiyyun. Begitu pula Abu
Hamid Al Ghozali membantah aqidah mereka dalam kitabnya Fadho-ihul
Bathiniyyah (Mengungkap kesalahan aliran Batiniyyah).”[17]
Bagaimana mungkin Shalahuddin menghidupkan perayaan Maulid sedangkan
beliau sendiri yang menumpas ‘Ubaidiyyun?! Ahmad bin
‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan,
صَلَاحِ الدِّينِ الَّذِي فَتَحَ مِصْرَ ؛ فَأَزَالَ
عَنْهَا دَعْوَةَ العبيديين مِنْ الْقَرَامِطَةِ الْبَاطِنِيَّةِ وَأَظْهَرَ
فِيهَا شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ
“Sholahuddin-lah
yang menaklukkan Mesir. Beliau menghapus dakwah ‘Ubaidiyyun yang menganut
aliran Qoromithoh Bathiniyyah (aliran yang jelas sesatnya, pen).
Shalahuddin-lah yang menghidupkan syari’at Islam di kala itu.”[18]
Dalam perkataan
lainnya, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan,
فَتَحَهَا مُلُوكُ السُّنَّة مِثْلُ صَلَاحِ الدِّينِ
وَظَهَرَتْ فِيهَا كَلِمَةُ السُّنَّةِ الْمُخَالِفَةُ لِلرَّافِضَةِ ثُمَّ صَارَ
الْعِلْمُ وَالسُّنَّةُ يَكْثُرُ بِهَا وَيَظْهَرُ
“Negeri Mesir
kemudian ditaklukkan oleh raja yang berpegang teguh dengan Sunnah yaitu
Shalahuddin. Beliau yang menampakkan ajaran Nabi yang shahih di kala itu,
berseberangan dengan ajaran Rafidhah (Syi’ah). Di masa beliau, akhirnya ilmu
dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin terbesar luas.”[19][20]
Dari penjelasan
ini, sangat mustahil jika kita katakan bahwa Shalahuddin Al Ayubi yang menjadi
pelopor perayaan Maulid, padahal beliau sendiri yang menumpas ‘Ubaidiyyun.
Sungguh, jika ada yang menyatakan bahwa Shalahuddin sebagai pelopor Maulid,
maka ini sama saja memutar balikkan sejarah. Sejarah yang benar, Shalahuddin
itu menumpas ‘Ubaidiyyun sebelum diadakan perang salib karena ‘Ubaidiyyun yang
sebenarnya melemahkan kaum muslimin dengan maulid yang mereka ada-adakan. Namun
inilah kenyataan sejarah yang direkayasa yang diputarbalik dan disebar di
negeri ini. Hanya Allah yang beri taufik.
Kerancuan
Keempat: Argumen Peringatan Maulid dengan Puasa Senin Kamis
Berikut adalah
kerancuan lainnya dari kalangan pro Maulid. Mereka mengatakan, “Rasulullah SAW
sendiri mensyukuri atas kelahirannya. Dalam sebuah hadits dinyatakan:
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ
الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم
“Dari Abi
Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa
hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu
diturunkan kepadaku”. (H.R. Muslim, Abud Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah,
Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Baghawi).”[21]
Sanggahan
terhadap syubhat di atas:
Pertama: Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi pendukung untuk
merayakan hari kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil.
Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa
pada tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar
pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran
beliau masih terdapat perselisihan. Yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya
kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan
Maulid harus setiap pekan bukan hanya sekali dalam setahun.
Kedua: Ingatlah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya
menjadikan hari Senin untuk berpuasa namun juga hari kamis. Dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, beliau mengatakan,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ
يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin
dan kamis.”[22] Sehingga hadits yang dikemukakan kalangan
pro Maulid bukan menunjukkan bahwa beliau ingin memperingati hari kelahirannya.
Ketiga: Jika memperingati maulid adalah dalam rangka bersyukur kepada Allah atas
kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka cara
memperingatinya adalah dengan berpuasa sebagaimana yang beliau contohkan.
Namun kami belum ketahui ada yang bersyukur dengan cara seperti ini. Yang ada
bentuk syukurnya adalah dengan membaca shalawat tanpa tuntunan, bahkan ada pula
yang memperingatinya dengan bermusik ria.[23]
Demikian
pembahasan kami mengenai beberapa syubhat yang ada dari para simpatisan Maulid.
Namun masih banyak syubhat dan kerancuan lainnya, moga-moga lain waktu bisa
kami lengkapi insya Allah. Kerancuan dan jawaban lainnya bisa dilihat di
artikel kami sebelumnya di sini. Intinya, syubhat yang dimunculkan
tidak terlepas dari dua kemungkinan, yaitu boleh jadi dengan anggapan baik
semata (tanpa dalil) dan boleh jadi dengan dalil namun salah dalam memahami.
Semoga apa yang
kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Cukuplah maksud kami
ini sebagaimanan yang dikatakan oleh Nabi Syu’aib,
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا
تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak
bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan
tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada
Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Huud: 88)
Segala puji
bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Disempurnakan
berkat pertolongan Allah di Pangukan-Sleman, Jum’at – 12 Rabi’ul Awwal 1431 H
(26/02/2010)
***
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Syubhat ini dikemukakan di salah satu web pro
Maulid Nabi. Silakan lihat link berikut >> http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1150&Itemid=1
. Begitu pula Syubhat ini dilontarkan oleh pemilik blog Salafytobat di sini
>> http://salafytobat.wordpress.com/2009/03/04/sunnah-maulid-nabi-allah-pun-merayakan-maulid-nabi-nabi/
.
[2] Lihat Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim li
Mukholafati Ash-haabil Jahiim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq &
Ta’liq: Dr. Nashir ‘Abdul Karim Al ‘Aql, 2/126-127, Wizarotusy Syu’un Al
Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1419 H
[3] Lihat Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim,
2/123-124.
[4] Coba lihat pembahasan tentang “Sejarah
Kelam Maulid Nabi” di sini >> http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/2925-sejarah-kelam-maulid-nabi.html
atau di sini >> http://muslim.or.id/manhaj/antara-cinta-nabi-dan-perayaan-maulid-nabi-2.html
. Insya Allah akan kami singgung pula dalam penjelasan selanjutnya.
[5] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, 25/298, Darul Wafa’,
[6] Lihat Al Hawi Lil Fatawa, As Suyuthi,
1/282, Asy Syamilah
[7] Syubhat ini disampaikan dari web pro Maulid
Nabi di link berikut >> http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1150&Itemid=1
[8] Lihat Kasyful Jaani, Muhammad At
Tiijani, hal. 96, Asy Syamilah.
[9] HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim
Asad bahwa sanad hadits ini jayid.
[10] Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh,
1/219, Asy Syamilah
[11] Sanggahan ini kami olah dengan beberapa
tambahan dari Al Bida’ Al Hawliyah, ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin Ahmad
At Tuwaijiri, hal. 159-161, Darul Fadhilah, cetakan pertama, tahun 1421 H.
[12] Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti
wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah,
hal. 145-146
[13] Dinukil dari Al Maulid, hal. 20
[14] Majmu’ Al Fatawa, 35/127
[15] Idem.
[16] Wafayatul A’yan, 3/117-118
[17] Al Bida’ Al Hawliyah, 142-143
[18] Majmu’ Al Fatawa, 35/138
[19] Majmu’ Al Fatawa, 3/281.
[20] Untuk mengetahui selengkapnya mengenai
Shalahuddin Al Ayubi apakah mendukung Maulid, silakan baca di buku “Benarkan
Shalahudin Al Ayubi mengerjakan Maulid Nabi?”, yang ditulis oleh Al
Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Maktabah Muawiyah bin Abi Sofyan.
[21] Syubhat ini dijadikan dalil bolehnya
perayaan Maulid Nabi di web pada link berikut >> http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1150&Itemid=1
.
[22] HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no.
1739. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahihul
Jaami’ no. 4897.
[23] Lihat sanggahan dalam kitab Al Bida’ Al
Hawliyah, hal. 176.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar